KATA MEREKA

Foto

Enny Bonaventura

Bogor

SAYA JADI PAHAM
GAYA BAHASA HOAKS
"Anak saya adalah bayi-bayi lulusan inkubator," kata Enny. la adalah seorang pekerja sosial pendiri Yayasan Roda Harapan Indonesia. Sejak 2011, Enny bersama Lugi, suaminya, menawarkan bantuan kepada kelompok miskin. Bantuan yang diberikan berupa peminiaman kursi roda gratis tanpa batas waktu, peminjaman inkubator gratis, susu untuk balita dan ibu hamil, pendampingan pasien, hingga bantuan pemakaman bagi lansia terlantar.
Foto

Sumanang Haryana

Tangerang

SAYA JADI LEBIH PEKA
TERHADAP BERITA
Sumanang tak pernah menyangka bahwa daya berpikir kritisnya semakin diasah pada usia lanjut. Di era banjir informasi ini, pesan hoaks sering kali muncul di ponselnya yang membuat ia harus ekstra berhati-hati dalam mengelola pesan. Pada usia 63 tahun, Sumanang, yang kerap disapa Apih, adalah pensiunan Guru Sekolah Dasar yang masih aktif menjadi penyiar di radio komunitas Rbamba.
Foto

Dedeh Ridawati

Tangerang

SAYA JADI BISA MENGATASI
MODUS PENIPUAN ONLINE
Berulang kali Dedeh berdebat dengan kedua anak perempuannya pasca menerima pesan singkat yang menyatakan bahwa dirinya mendapat hadiah uang puluhan juta rupiah. Awalnya, Dedeh sangat mempercayai pesan-pesan dari nomor tak dikenal itu. Setiap mendapat pesan berupa iming-iming hadiah, Dedeh bergegas meminta anak-anaknya untuk memberitahu nomor rekening akun bank yang ia miliki. "Karena mereka yang simpan biar aman," kata Dedeh,
Foto

Salma Nur Fauziyah

Bandung

SAYA JADI TAHU BANYAK
CARA MENGUJI KEBENARAN
Salma adalah penggagas klub buku Kembang Kata di Bandung. Sebagian besar waktunya di media sosial, digunakan untuk mencari informasi tentang kegiatan-kegiatan di ranah literasi. Terlebih yang ada di kota tempat tinggalnya. Sepengamatan Salma, antusiasme orang-orang muda di Bandung terhadap kegiatan literasi sedang meningkat. Itu pula yang jadi salah satu alasan Salma membentuk komunitas dan mengagendakan kegiatan rutin silent reading
Foto

Yopi Muharam

Bandung

SAYA JADI PAHAM MATERI
ANTI-HOAKS YANG TERSTRUKTUR
Ada kalanya media sosial membuat Yopi merasa penat akibat begitu banyaknya misinformasi. Kepada tim Tular Nalar, Yopi berkata bahwa pola persebaran hoaks di setiap media sosial memiliki ciri yang berbeda-beda. "Di salah satu platform, hoaks lebih mudah diketahui karena ada perbincangan di sana. Orang dari berbagai komunitas berusaha menyisir informasi yang beredar," kata Yopi. Lain cerita ketika la melihat konten di salah satu platform
Foto

Amat Setiawan

Jakarta

SAYA JADI LEBIH KRITIS
DALAM MEMILAH INFORMASI
Dua tahun lalu, Amat merantau ke Jakarta untuk mewujudkan cita-cita menjadi presenter berita. Kini, ia adalah mahasiswa program studi Jurnalistik di salah satu kampus negeri di Tangerang Selatan, Banten. Salah satu tantangan yang sempat ia hadapi adalah mengidentifikasi berita yang tidak akurat. Saat menjelang pemilu 2024, media sosial Amat dipenuhi informasi tentang berbagai pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon).
Foto

Novi Safitri

Sukabumi

SAYA JADI LEBIH BERANI
BERPENDAPAT
Telusur. Ini jadi salah satu kata yang paling Novi ingat setelah mengikuti pelatihan Tular Nalar di kampusnya. Sebelum mengikuti pelatihan dari Tular Nalar, Novi cenderung mempercayai segala informasi yang lewat di platform media sosial dan platform pesan singkat di ponsenya. la pernah menjadi korban penipuan. Satu kali ia mengklik link dari media sosial tentang berita karakteristik pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024.
Foto

Virliya Putricantika

Bandung

SAYA JADI LEBIH BIJAK
MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL
Pada mulanya, Virliya menganggap bahwa ia bebas mengunggah konten apapun di akun media sosial miliknya. Ketika berkenalan dengan Tular Nalar, ia sadar bahwa esensi media sosial ialah perpanjangan tangan untuk menyampaikan informasi yang akurat dan bermanfaat bagi orang lain. "Mungkin kawan-kawanku di media sosial juga follow aku untuk mendapatkan informasi. Tular Nalar mengajarkanku bahwa mengonfirmasi informasi jadi hal penting,"